Subject: Re: Pikiran dan Realita ; ditulis oleh:
Vincent Liong (untuk: Armahedi Mahzar)
From: Armahedi Mahzar
Thu Aug 2, 2007 10:46 pm
e-link:
http://groups. yahoo.com/ group/Komunikasi _Empati/message/ 2216
Email tsb terlampir di bawah email ini.
(Note: VL=Vincent Liong , AM= Armahedi Mahzar)
AM: Jadi output orang (teori sebagai kumpulan
kata-kata) saya jadikan input. Kita juga menggunakan
fuzzy logic untuk karya tulis orang. Misalnya "bagus"
dan "jelek" itu kan juga fuzzy. Mungkin karena induksi
fuzziness dari perasaan.
Well. Semua orang bisa punya teori untuk itu, seperti
halnya setiap orang punya skema untuk perasaannya.
VL: Bagus atau jelek adalah judgement (linear logic)
bukan fuzzy karena sifatnya bioptional (tinggi-rendah)
dan sudah menyentuh penilaian pribadi atau
standarisasi yang dibuat sekelompok orang seperti alat
test.
Apa yang disebut fuzzy masih berupa data mentah(non
verbal) karena sifatnya yang relatif baik dalam range
diri sendiri, kelompok maupun general. Misalnya: Buku
tsb bila dinilai dengan asosiasi warna adalah merah
kekuningan. Bila asosisasi rasa adalah manis kecut.
Untuk menjadi judgement kongkrit dengan bahsa yang
verbal maka dibutuhkan translater yang hanya berlaku
di orang tsb dan dibuat digunakan lalu didelete saat
itu saja (tidak berlaku tetap/permanent) .
Orang tidak perlu belajar untuk membuat dan menilai
judgement (linear logic) tetapi orang perlu belajar
membaca data sebelum data tsb di-judgement (ketika
data masih murni belum terdistorsi bahasa,
sudutpandang, dlsb) baik data di dalam dirinya sendiri
maupun di luar diri sendiri.
AM: Itu artinya setiap orang mempunyai "teori
personal" untuk mengkodekan korelasi antara dua indra
(indra kecap untuk minuman, indra enteroseptif untuk
tubuh). Itulah yang anda maksudkan dan saya tidak
keberatan dengan itu. Yang ingin saya tambahkan adalah
bahwa "teori personal" itu umumnya bersifat asosiatif.
Jika yang dikorelasikan adalah kumpulan indra (yang
biasanya disbut persepsi) maka yang digunakan adalah
kata-kata kongkret yang disepakati bersama. Pada level
kaum primitif kata-kata itu dirangkai dalam suatu
cerita pusaka yang diceritakan
turun temurun.
Cerita pusaka itulah yang disebut mitos. Claude
Levi-Strauss membongkar oposisi biner yang disimpan
dalam mitos-mitos tersebut. Saya membongkar oposisi
biner yang terkandung dalam filsafat-filsafat orang
Barat modern. Tak disangka-sangka elemen-elemen dasar
filosofis orang Barat itu menyusun dirinya sendiri
dalam satu skema yang saya sebut sebagai integralitas
atau
realitas integral (mungkin sama dengan *.*.*.* dalam
terminologi Anda).
VL: Mitos adalah satu level proses di atas fuzzy yang
sudah lebih linear karena sudah ada percampuran data
dengan diri pribadi entah itu faktor individual
seperti misalnya sudutpandang, perasaan, judgement
pribadi, atau faktor kelompok seperti misalnya bahasa,
budaya, alam sekitar, dlsb.
Dalam kondisi sebelum masuk ke data linear tadi baik
faktor-faktor diri sendiri, faktor di luar diri
sendiri, data yang dihadapi, dlsb memiliki derajat
yang sama sebagai data dan berdiri sendiri-sendiri
secara independent. Baru pada tahap pemerosesan data
agar lebih linear (lebih kongkrit) data itu dikawinkan
dan diberi hirarki.
Memang proses dekon di tahap membaca posisi pada
skala-skala dalam range badan bersifat asosiatif
tetapi judgementnya pun judgement asosiatif, tiap
skala yang digunakan masih skala asosiatif. Judgement
asosiatif misalnya: Dalam kondisi tertentu dari range
seluruh tubuh di skala perut lalu bergerak ke punggung
lalu mengalir ke tangan seperti pegal untuk dekon hari
tsb rules itu yg berlaku tetapi skala tsb timbul
karena pada tahap menyusun sample untuk membentuki
penggaris ukurnya judgement asosiatif tsb disusun.
Skala-skala asosiatif dengan range yang asosiatif
disusun saat menginput penggaris ukur, judgement
asosiatif ketika menilai data dengan skala asosiatif.
Range asosiatif juga bisa diubah misalnya: 100% badan
dari kepala sampai kaki, atau 50% badan dari telapak
kaki sampai pinggang, atau kepala saja, dlsb. Jadi
diri pribadi sebagai alat ukur tidak memiliki
kecenderungan judgement yang tetap. Ketepatan saat
judgement dicapai akibat kerja pararel dari proses
penyusunan range dan skala-skalanya, juga bahasa
kontekstual yang digunakan, yang masing-masing
memiliki kalibrasi sendiri-sendiri.
Nah, hal-hal semacam ini tidak bisa dibahas bila
dilakukan hanya di tahap pemikiran karena efeknya yang
terjadi bukan memahami hal tsb tetapi mensugesti diri
dan membaca sugesti, mau tidak mau harus lari ke
eksperimen yang lebih fisikal untuk memahaminya dengan
input yang secara langsung mempengaruhi fisikal
biologis juga seperti makan dan minum.
AM: Saya menangkap bahwa anda menganggap saya tidak
mengerti kompatiologi. Mungkin anda benar jika yang
dimaksud dengan mengerti adalah mengerti secara
ilmiah. Mungkin saja bisa dijelaskan dengan RAS
seperti yang dilakukan oleh mang Iyus, atau dengan
Memori seperti yang dilakukan oleh mbak Istiani. Atau
dengan pineal gland seperti yang dipahami oleh mas
Leo. Secara fisika saya tidak bisa menerima
teori-teori itu tanpa mengidentifikasi medium untuk
menyalurkan apapun namanya dari satu otak ke otak yang
lain. Mas Leo bicara energi tapi energinya energi apa,
soalnya di fisika tidak dikenal konsep energi negatif
kecuali relatif terhadap energi pada satu tempat. Saya
sih punya teori sendiri tentang medium itu, tapi
lupakanlah teori-teori ilmiah itu, seperti yang anda
lakukan.
VL: Kurang dari 5% dari seluruh pengajar kompatiologi
(baik murid saya, muridnya murid saya atau cucu, buyut
murid saya) yang mau membaca tulisan-tulisan saya,
tulisan Juswan Setyawan, Cornelia Istiani, Leonardo
Rimba, dlsb. Semakin anda merasa ngerti teorinya tanpa
menjalani praktikalnya maka anda hanya semakin
mensugesti diri anda berandai-andai di imajinasi anda
sendiri yang semakin hari semakin jauh dari realitanya
yang lebih simple dan praktis jika dijalani saja tanpa
pre-judgement. Praktisi kompatiologi yang terlalu
serius membaca tulisan-tulisan tsb dan meyakininya
biasanya mengalami hambatan berupa penundaan
penguasaan penerapannya dalam proses pasca-dekon
antara 1-3 bulan, karena ketika pre-judgement beradu
dengan apa yang dialami maka ini semua tergantung
keikhlasan orang tsb untuk melepas pre-judgementnya.
Maka dari itu saya juga mengatakan bahwa akan lebih
sulit bagi yang ikut rekon-nya mas Leonardo Rimba
untuk mempelajari dekon, tetapi yang telah ikut dekon
rata-rata tidak ada keinginan untuk mau belajar
apa-apa lagi termasuk rekon.
Maka dari itu tiap pengajar kompatiologi rata-rata
membuat pengembangan teori sendiri dengan bahasa,
sudutpandang dan definisi sendiri-sendiri sesuai
bahasa dan kepentingan target jenis market yang ingin
dicapai.
Misalnya: Dade yang target marketnya lebih traditional
minded malah membakas kompatiologi dalam konteks
Al-Quran. Rio Panjaitan tentu membahasnya dalam
hubungan dengan Aikido dan budaya Bushido dengan
pengaruh budya hormat-menghormati yang masih kuat.
Vincent Liong suka membahas dalam hubungan dengan
eksistensi diri dan mengakali keterbatasan resourch.
Group-nya Arry, Onny Lewis, Andre, dlsb lebih suka
membahas yangh praktis-praktis aja malahan hampir
tidak ada teorinya.
Kalau anda menanyakan soal RAS semua bilang: “Emang gw
pikirin“. Toh yang penting klien gw mampu menggunakan
yang dipelajari untuk membantunya dalam hubungan
dengan keluarga, pertemanan dan pekerjaan lalu melapor
bagaimana cara dirinya masing-masing dalam
menjalaninya khan sudah lebih dari cukup.
Saya terpaksa membahas teoritis seperti ini karena
saya menghadapi anda yang teoritisi yang menganggap
cukup dengan sugesti perasaan mengerti dan menguasai
model orang kuliah dapat ijasah saja lebih penting
daripada mengerti praktik.
AM: Sayangnya (nggak perlu disayangkan sih, karena tak
bisa dihindarkan bahwa setiap penjelasan memerlukan
metafor) anda menggunakan metafor komputer untuk
menjelaskan fenomena komunikasi empati yang ada
temukan itu. Sampler, translater dan Operating Sistem
adalah istilah-istilah yang sering anda gunakan. Buat
orang yang bekerja di bidang komputer mungkin
istilah-istilah anda kurang nyambung. Mungkin kalau
diganti dengan programmer, program dan OS akan lebih
nyambung. Dengan peristilahan baru ini, barang kali
metafornya bisa diganti-ganti dengan metafor-metafor
yang lebih nyambung buat orang awam. Misalnya saja
metafor komputer diganti dengan metafor mobil.
Programmer diganti sopir, Program diganti setir, OS
diganti mesin. Jadi sampler-translater- OS atau
programmer-program- OS bisa diganti supir-setir- mesin.
Bahkan bisa diganti dengan metafor bendi dengan
kusir-kekang- kuda buat orang yang kurang familiar
dengan mobil.
VL: Saya menggunakan kata-kata karena anda bukan orang
lapangan sehingga maunya juga komunikasi kata-kata
saja yang memiliki keterbatasan sebagai alat penyampai
informasi, jadi saya tidak ada pilihan lain selain
terpaksa bermain kata-kata juga.
OS itu range-nya terlalu luas.Memang kompatiologi itu
OS tetapi tidak bisa dengan emngatakan begitu saja
akan terlalu menyederhanakan. Kompatiologi jelas bukan
program karena program memiliki pola if or then yang
dibakukan. Kalau model kuliah resmi misalnya di
psikologi, ilmu ini, ilmu itu, dlsb itu memang
berbentuk program karena orang hanya bisa memilih
program yang ada dan menggunakannya tanpa tahu proses
dan reasoning dalam pembuatannya. Kalau pendekon
sebagai programmer ya bisa nyambung tetapi tugasnya
bukan memerogram karena program memiliki keterbatasan
yaitu memiliki pola if or then yang dibakukan. Maka
dari itu kadang saya pakai istilah penginstalasian OS
karena OS itu cukup luas pilihan dan pola if or then
nya tidak seterbatas program. Tetapi tetap saja ini
semua hanya cocok untuk iklan, tetap tidak mewakili
karena realita itu konpleks kalau dibahas tetapi
simple kalau dialami.
AM: Saya sendiri sih lebih suka pakai istilah
filosofis intuisi-inteligensi -insting. (Mungkin kalau
bahasa ilmiah integrasi itu antara pineal gland yang
intuitif, cerebral cortex yang logis dan limbic system
dan RAS yang pra-logis). Bagi saya fenomena komunikasi
empati justru menjelaskan adanya integrasi ketiga
fungsi kognitif manusia secara personal. Obsesi saya
adalah mentransfer integrasi personal (yang anda sebut
kompatiologi) itu menjadi integrasi kolektif melalui
integrasi humaniora-sains- teknologi. Jadi model
integrasi kompatiologis personal itu kemungkinan besar
bisa diluaskan menjadi model integrasi integralistik
peradaban. Yang jadi persoalannya adalah mencari
metodologi kolektivasi kompatiologi itu. Itulah
sebabnya saya masuk milis anda ini. Mungkin ada
peserta milis yang bisa berkontribusi memecahkan
persoalan penting ini demi keselamatan umat manusia
seluruhnya di masa depan. (Sorry, saya sering disebut
menderita Messiah Complex syndrome sih).
VL: Masalahnya tidak ada lembaga atau perusahaan yang
mau karyawannya di-install kompatiologi. Sebab bila
pemahaman akan posisi diri dan posisi di luar diri
muncul maka orang tidak bisa ditekan lagi dengan
pekerjaan menumpuk dan gaji yang rendah dengan alasan
keyakinan tentang teori-teori kemapanan seperti
misalnya: Sudah untung anda dapat kerja sehingga harus
mempertahankan di tempat yang sama sampai tua.
Program-program psikologi industri dan berbagai macam
training dibuat untuk menguntungkan perushaan bukan
menguntungkan pribadi karyawan. Maka dari itu biasa
yang minta itu ownernya perusahaan sambil wanti-wanti
ke saya agar jangan sampai karyawannya ada yang ikut.
Di salahsatu kasus: Tiga orang klien kompatiologi di
Solo adalah tiga orang yang menjalankan bisnis
internet provider yang bersaing cukup keras satu sama
lain. Mereka sama-sama belajar kompatiologi ketika
kunjungan saya ke Solo dan Jogja 3 bulan yang lalu.
Ketika saya mengunjungi mereka untuk mentanyakan
result mereka, rupanya yang terjadi adalah mereka
berdua meski tetap di perusahaan sendiri-sendiri lebih
memilih bekerjasama dalam proyek pemerintah yang lebih
besar yang dimana sama-sama untung. Ketika seseorang
menemukan bahwa saingan mereka cukup lihai dan punya
ilmu yang sama, daripada bertarung sama-sama rugi
lebih baik saling membuat kesepakatan tidak tertulis
dan kesepakatan emosi yang diam-diam agar sama-sama
untung dalam menghadapi banyak saingan lain yang lebih
luas yang tidak memiliki skill yang mereka punyai.
Mereka tetap tidak 100% percaya sama lain karena
kepentingan tetap saja sendiri-sendiri, tetapi ada
kesepakatan diam-diam yang mengkaitkan mereka sehingga
bersahabat.
AM: Begitu Loh mas. Jadi nggak usah mencoba meyakinkan
saya akan kebenaran dan keunggulan kompatiologi
dibandingkan produk-produk pikiran yang lain seperti
sains dan filsafat. Kebenaran? Saya sudah dipersuasi
oleh laporan-laporan para terdekon. Keunggulan? Itu
mah nggak usah diurai-urai dengan kata-kata.
Terima kasih penjelasan kompatiologi nya, meskipun itu
sudah saya baca dari artikel-artikel mas yang biasanya
dijadikan komponen bom imel. Whatever, terimakasihnya
masih tetap. Saya hanya berdoa agar mas bisa mendobrak
dinding penjara yang bernama kompatiologi (bukan
fenomena komunikasi empati, tapi teorinya) dan meraih
pesoalan kolektif manusia yang lebih luas seperti
ketidak-adilan global, kepicikan mental
fundamentalisme, kerusakan lingkungan hidup,
keterpecahan masyarakat dan lain sebagainya.
VL: Saya orang yang menganut paradigma bahwa orang
boleh baik asal tahu konsekwensi dan secara ikhlas
bersedia membayarnya, orang juga boleh jahat, boleh
curang, boleh melakukan apapun asal resiko yang harus
dibayar diperhitungkan dulu. Bagaimanapun jahatnya
manusia itu tetap berpikir aman bukan berpikir mau
menang tetapi bisa kalah sehingga tidak ada kemapanan
yang terjamin.
Permasalahan dari pendidikan, agama, termasuk filsafat
yang berbasis keyakinan akan kebenaran adalah: Ok, di
saat ini seseorang misalnya menggunakan bahasa
kontekstual yang diberi semangat: “menentang
korupsi!!” secara menggebu-gebu (agak anarkis), itu
karena mereka belum punya kesempatan yang sama saja
(sadar-tidak- sadar). Tetapi coba lihat ketika mereka
berhasil menggulingkan penguasa, lalu mereka
menggantikan kesusukan si penguasa yang kejam, kok
mereka tidak berprilaku seperti yang mereka
perjuangkan dengan anarkis seperti saat mereka belum
jadi penguasa.
Masalahnya adalah mereka bisa dengan mudah membuat
judgement tetapi mereka tidak punya kemampuan untuk
mengukur diri sendiri, orang lain, dlsb. Mereka tidak
mampu mengukur pola if or then diri sendiri dan orang
lain. Tetap saja yang benar-benar jadi pelaku bukanlah
ahli teori, yang menjadi perlaku adalah mereka yang
bertindak tanpa perlu banyak idealisme, melainkan
kesadaran akan konsekwensi, diri sendiri dan di luar
diri sendiri. Sebab keyakinan itu sama seperti sugesti
yang tidak memiliki pola sebab akibat yang kongkrit;
anda bisa membuat output bahkan tanpa input apa-apa.
Pendidikan, agama, dlsb itu belajar bahasa kontekstual
dan aturan main di dalamnya tetapi untuk belajar
menjalaninya harus meninggalkan teori untuk turun ke
lapangan menjadi pelaku dan menyadari konsekwensi yang
harus dibayar.
Kompatiologi tidak menjual teori, maka dari itu saya
belum mengumpulkan tulisan-tulisan ini untuk dibukukan
hingga hari ini. Juswan Setyawan dulu menulis sekian
banyak tulisan soal Kompatiologi (hingga 250an halaman
A4 spasi 1) dan akhirnya didiamkan saja tidak dibaca
juga tidak dicetak. Yang kami jual adalah skill, yang
kami jual adalah karya seni dari masing-masing
pengajar kompatiologi yaitu: Bagaimana result
murid-murid kami di dunia nyata?! Apakah mereka
terbantu dengan ilmu yang mereka beli atau tidak.
Karya seni dijual berdasarkan keaslian dan proses
pembuatannya yang personal, bukan sekedar keindahan
foto berdurasi tinggi tetapi dengan mudah dicetak di
studio foto terdekat di kota anda yang dijalankan oleh
mesin standart pabrik yang diawasi oleh petugas.
Orang mungkin berhasil merusak image kompatiologi di
kalangan teoritisi tetapi tidak di kalangan pelaku
yang membutuhkannya untuk dipraktikkan di ruang
praktikal. Bagi kami tidak menjadi masalah karena
target kami bukan teoritisi yang takut praktik.
Ttd,
Vincent Liong
Jakarta, Jumat, 3 Agustus 2007
Email sebelumnya.. .
Subject: Re: Pikiran dan Realita ; ditulis oleh:
Vincent Liong (untuk: Armahedi Mahzar)
From: Armahedi Mahzar
Thu Aug 2, 2007 10:46 pm
e-link:
http://groups. yahoo.com/ group/Komunikasi _Empati/message/ 2216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar