Jumat, 23 Januari 2009

Obama dan Manfaatnya bagi Indonesia...?

Sebelum hari pelantikan Obama kemarin, saya membaca sebuah tulisan di
facebook yang berisi nada pesimis yang ditulis di profil seorang
temanku. Katanya " aku heran sama orang Indonesia yang begitu berharap
dengan Obama, padahal padahal dalam hati Obama..Indonesia? sapa elu...:)".

Saya tidak sepakat dengan pendapat teman saya ini, karena menurut saya
masa kecilnya di sini jelas meninggalkan pengalaman dan kesan kuat
tentang negara ini bagi Obama. Terbukti dari apa yang dia tulis dalam
bukunya, dia bercerita tentang Bali, Jakarta dan segala kenakalannya
selama tinggal di sini. Apalagi waktu SBY menelpon untuk mengucapkan
selamat saat dia resmi terpilih jadi Presiden, apa yang dikatakan
Obama pada SBY?..."Gue kangen Nasi Goreng, Bakso dan Rambutan". Jadi
jelas teman saya ini salah ketika dia mengatakan "begitu dia jadi
Presiden mana dia ingat lagi Indonesia", karena faktanya adalah
sebaliknya, Obama tidak pernah lupa Indonesia.

Terus apa implikasi dari kenangan pribadi masa kecil Obama ini
terhadap posisi Indonesia di mata Amerika selama masa kepemimpinannya
nanti?...Nah kalau ini pertanyaannya, baru jawabannya TIDAK ADA.

Amerika bukanlah tipe negara dakocan yang menjalankan politik luar
negerinya berdasarkan pada perasaaan sentil mentil masa kecil
presidennya. Sebagai sebuah negara, mereka sudah punya satu peta besar
negara-negara yang dibagi dalam skala prioritas dalam menjalankan
hubungan internasionalnya. Mulai dari negara yang paling penting
seperti Israel, Irak dan Afghanistan sampai ke negara yang paling
tidak penting sama sekali semacam Vanuatu dan Tonga.

Siapapun presiden Amerika, dalam mengambil setiap kebijakannya dia
tidak akan bisa melepaskan pertimbangan kebijakan luar negerinya dari
peta yang sudah ada ini. Secara garis besar, siapapun presiden
Amerika, negara-negara yang dianggap teman, musuh sampai yang biasa
saja oleh Amerika ya itu-itu saja. Tidak berubah.

Siapapun presidennya, musuh Amerika ya tetap Kuba, Iran dan Korea
Utara. Temannya?... untuk di Asia tinggal kita lihat saja dimana
Amerika menempatkan pangkalan-pangkalan militernya. Philipina, Korea
Selatan dan Jepang. Kalau di Timur tengah ya jelas Israel. Siapapun
presiden Amerika, kenyataan ini tidak akan bisa diubah karena kuatnya
lobi Yahudi sebagai hasil kuatnya kontrol mereka atas ekonomi Amerika.

Biarpun mungkin secara pribadi seorang Presiden Amerika sangat benci
Israel dan yahudi, tapi secara institusi adalah mustahil seorang
presiden Amerika untuk mengubah secara ekstrim kebijakan nasional
mereka yang pro negara Yahudi di Timur Tengah itu. Kalaupun ada
perbedaan antara kebijakan antara satu presiden dengan presiden lain.
Itu cuma masalah tingkatan keras dan lunaknya saja. Tapi secara garis
besar yang namanya Amerika siapapun presidennya ya Pro Israel.

Untuk negara arab teman-teman Amerika ya bakalan tetap, Mesir, Arab
Saudi, Kuwait sama Jordania. Iran dan Suriah dianggap lawannya. Sama
Libya udah rada baikan.

Di Eropa jelas sama NATO, sama Rusia yang sekarang udah mulai lagi
menyusun kekuatan pasca bubarnya Uni Sovyet, Amerika juga mulai
hati-hati dan nggak mau salah perhitungan.

Untuk mengamati pola kebijakan luar negeri Amerika, perlu kita tahu
pula kalau Amerika ini adalah sebuah negara yang dijalankan dengan
pemikiran filsafat Pragmatisme hasil pemikiran William James dan
kawan-kawan. Pragmatis sendiri kurang lebih berarti hanya melakukan
apa yang menguntungkan diri sendiri saja. Biarpun di kalangan kaum
filsuf, filsafat yang dianut Amerika ini dicibir dan dihina kanan kiri
dibilang kampungan lah atau dibilang sebagai pemikiran yang 'menaruh
otak di bokong' lah dan dan lain sebagainya. Tapi apa boleh buat,
faktanya dengan filsafat kampungan inilah Amerika menguasai dunia.

Dengan semua paparan saya di atas, kalau mau melihat posisi Indonesia
di mata Amerika, kita tidak perlu melihat siapa yang menjadi presiden
di sana. Karena siapapun presidennya kebijakan luar negeri yang dia
ambil tidak akan bisa dilepaskan dari cara pandang Amerika yang
seperti yang saya gambarkan itu.

Jadi untuk melihat apa seberapa berartinya Indonesia di mata Amerika,
bukan dengan melihat fakta bahwa di masa kecilnya Obama pernah tinggal
di Jakarta, melainkan dengan melihat apa untungnya keberadaan
Indonesia bagi kepentingan nasional Amerika. Cara pandang yang sama
juga berlaku buat Kenya, negara asal Bapak kandung Barack Obama.

Sebagai sekutu misalnya, seperti yang saya katakan, untuk kawasan ini
secara tradisional Amerika itu kawan dekatnya ya Australia, Philipina,
Korea Selatan dan Jepang.

Memang kalau dilihat dari posisi geografis, posisi Indonesia yang
terletak di antara dua samudra dan dua benua ini sangat strategis baik
untuk militer apalagi ekonomi. Tapi seperti yang saya katakan di atas
tadi, untuk kepentingan militer dalam memanfaatkan posisi strategis
kawasan ini Amerika berpartner dengan Philipina. Untuk ekonomi? siapa
di kawasan ini yang dianggap paling penting oleh Amerika?...ya Singapura.

Kenapa Singapura?.. .itu karena meskipun Singapura itu negara kecil
yang bahkan bisa tenggelam cukup dengan kita ludahi saja dan
orangnyapun berbicara dengan logat bicara yang jauh lebih jelek
dibandingkan logat kita. Tapi negara kecil dengan orang-orang berlogat
jelek inilah yang secara empiris bisa memanfaatkan segala keuntungan
ekonomi dari strategisnya posisi geografis nusantara ini.

Singapura yang baru 9 Agustus 1965 memerdekakan diri dari Malaysia ini
adalah tempat transit paling penting dalam jalur laut dan penerbangan
di kawasan Asia Tenggara. Untuk jalur laut malah bisa dikatakan
sebagai salah satu tempat transit terpenting di dunia, mengingat Selat
Malaka adalah jalur laut tersibuk di dunia.

Sementara Indonesia adalah sebuah nama yang dikenal sebagai negara
yang gemar menyia-nyiakan seluruh potensi yang dia punya. Ya potensi
alam, potensi melimpahnya penduduk yang seharusnya bisa diolah menjadi
pasar yang sangat strategis, dan terutama potensi letak geografisnya
yang luar biasa strategis itu.

Mentalitas pengelola negara ini rata-rata seperti Kosasih Bakar, Ceh
amatiran yang secara genetik berasal dari Gayo, sama dengan saya.
Pengelola negara ini bisa dikatakan adalah sekumpulan ahli yang sangat
ahli mencari alasan. Seperti Kosasih Bakar yang ketika saya katakan,
andai 30 Tahun yang lalu kita seperti Cina atau Korea selatan yang
benar-benar membangun kekuatan hingga sekarang sudah setara eropa dan
Cina bahkan Amerikapun bergetar dibuatnya. Yang pertama kali terpikir
di kepalanya saat saya mengatakan itu adalah apa yang dipunyai
negara-negara yang saya sebutkan tadi tapi tidak dipunyai negara
ini...Oh Cina itu tidak dapat disamakan dengan kita, mereka komunis
bisa maju karena buruh dibayar murah, Korea itu dibiayai IMF dari
awalnya. Indonesia tidak punya itu semua dan dengan alasan seperti itu
selesailah semua masalahnya. Ketertinggalan Indonesia sudah bisa
dimaklumi.

Seperti Kosasih Bakar, di kepala pengelola negara ini tidak pernah
muncul apa yang tidak dipunyai Korea dan Cina tapi bisa ditemukan
melimpah di negara ini, misalnya negara ini punya potensi pertanian
sedemikian besarnya, garis pantai yang sedemikian panjangnya, posisi
geografis yang sedemikian strategisnya dan pasar domestik yang
sedemikian besarnya (sekarang ada dalam taraf wacana ditawarkan oleh
beberapa partai peserta pemilu, tapi saya sendiri tidak tahu persis
seperti apa konsep matang mereka).

Konsekwensi dari mentalitas seperti ini apa?, tidak muncul inisiatif
melobi ICAA misalnya untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat transit
pesawat udara yang melintasi Amerika menuju Eropa dan sebaliknya,
Eropa menuju Australia, Timur Jauh menuju Timur Tengah. Tidak ada
inisiatif untuk membangun sebuah pelabuhan transit besar di Banda Aceh
yang terletak tepat di mulut Selat Malaka. Akibatnya apa?...Semua
potensi besar itu akhirnya dimakan habis oleh Singapura.

Sehingga seperti yang saya gambarkan di atas, di kawasan ini,
Singapura, negara kecil dengan orang-orang berlogat jelek itulah yang
mengambil segala manfaat dari semua keuntungan itu, kita cukup makan
ampasnya saja.

Selain potensi geografis, kita juga masih banyak punya potensi lain,
diantaranya Hutan, Perikanan dan Pertambangan. Tapi karena kita punya
banyak potensi seperti itu dan negara ini adalah negara yang murah
hati pula. Sehingga potensi hutan dimakan sama Malaysia, potensi
perikanan dimakan sama Thailand dan potensi pertambangan dimakan sama
Amerika.

Karena kita cuma bisa mencari-cari apa yang dipunyai oleh orang lain,
bukan apa yang kita punya, jadilah tidak dapat memanfaatkan segala
potensi kita, akibatnya sejak 30 tahun yang lalu sampai sekarang, kita
ya begini-begini saja. Tidak dipandang dalam pergaulan dunia, tidak
terlalu serius dianggap oleh bangsa-bangsa lain bahkan dipandang
sebelah mata oleh negara sesama Melayu, Malaysia atau Singapura,
negara yang cuma sekecil upil kalau dibandingkan dengan kita.

Dengan cara pandang ini jelas kita bisa melihat kalau Indonesia di
mata Amerika adalah negara yang biasa-biasa saja. Bukan negara yang
terlalu penting buat dirangkul, bukan juga buat dijauhi. Alasannya
tidak ada yang terlalu penting di Indonesia ini untuk menjadikannya
sebagai pusat perhatian Amerika dalam arti positif seperti Singapura
atau dalam arti negatif seperti Myanmar misalnya.

Kalau kita buat peta yang lebih jelas, untuk kawasan Asia tenggara.
Negara-negara mana saja yang dianggap penting oleh Amerika. Maka kita
akan melihat kalau yang dianggap penting oleh Amerika secara militer
adalah Philipina dan Australia, kalau secara ekonomi ya Singapura.
Lalu dalam peta yang sama akan kita lihat skala prioritas kebijakan
luar negeri Amerika di kawasan ini, secara positif posisi Indonesia
juga masih di bawah Thailand, Vietnam dan Malaysia. Tapi Masih di atas
Brunei, Laos dan Kamboja dan jauh di atas Myanmar yang junta
militernya dimusuhi Amerika yang sebaliknya kalau secara dilihat
secara negatif, bisa jadi merupakan salah satu prioritas hubungan luar
negeri mereka di kawasan ini.

Di Asia, secara umum yang belakangan menjadi perhatian Amerika dan
dianggap strategis untuk ditingkatkan hubungan luar negerinya, jelas
Cina dan India yang belakangan ini sangat luar biasa pertumbuhan
ekonominya yang didukung jumlah penduduk dengan skala raksasa.

Siapapun yang menjadi Presiden Amerika, prioritas kebijakan luar
negeri negara itu tidak akan jauh bergeser dari faktor-faktor yang
saya sebutkan itu. Jadi, meskipun mungkin ada sedikit pengaruhnya,
tapi adalah tidak relevan mengaitkan masa kecil Obama di Jakarta
dengan potensi peningkatan hubungan luar negeri antara Indonesia dan
USA secara drastis.

Tapi meskipun terpilihnya Obama sebagai Presiden Amerika tidak akan
berpengaruh terlalu signifikan terhadap peningkatan hubungan luar
negeri Indonesia-Amerika. Seharusnya orang Indonesia mesti berbesar
hati dan berbangga dengan terpilihnya Obama. Karena dengan
keberadaannya sekarang sebagai Presiden Amerika. Orang-orang sedunia
jadi tahu kalau Bali adalah sebuah bagian dari Indonesia, bukan
sebaliknya.

Tapi bagi siapa saja yang dulu sangat bersemangat mendukung Obama di
saat pemilihannya, yang berharap dengan terpilihnya dia akan ada
perubahan drastis kebijakan Amerika atas Israel-Palestina. Saran saya,
sekarang anda sudah boleh menyiapkan beberapa keranjang yang berisi
segala macam variasi kata makian baru.

Ini sangat perlu anda siapkan sebab sebentar lagi anda akan segera
bosan dengan variasi makian yang itu-itu saja karena dalam waktu-waktu
ke depan, kata-kata itu akan banyak sekali anda gunakan. Cacian
terhadap Amerika dan presidennya nantinya akan tetap sama saja, tapi
dengan mengganti kata 'Bush' yang delapan tahun belakangan ini sangat
familiar di telinga kita dengan kata 'OBAMA' tentunya.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com



 
 
 
 
 

Tidak ada komentar: